Dilema Memilih Skincare (Part 1: Intro)

10:38:00 PM

http://image.shutterstock.com/z/stock-vector-beauty-cosmetics-icons-vector-doodles-141011854.jpg

Dahulunya, ketika saya duduk di jenjang SD, saya tidak terlalu tertarik merawat diri sendiri. Sangat cuek dengan perawatan. Sampai-sampai ibu saya khawatir dan menggumam, “oh mungkin nanti kali ya, kalau sudah lebih besar, barulah rajin merawat diri sendiri”. Dan saya saat itu menggumam dalam hati, “iya nanti sajalah, kalau sudah butuh, saya merasa baik-baik saja dengan kondisi fisik saya”.  

Padahal saya dari kecil sudah berkulit sawo matang, tapi karena super PD, belum tertarik untuk melakukan ritual kecantikan. Berkulit sawo matang itu sebenarnya repot, kalau ga dirawat otomatis kulit terlihat kusam, kering, dlsbnya yang jauh dari kata-kata menarik. Saat itu juga saya berpikir, “penting ya tampil menarik secara fisik?” Sepertinya karena merasa malas atau karena merasa tidak butuh. Eh sepertinya dua-duanya sih saya tidak juga sadar pentingnya perawatan.

Ritual yang dilakukan ibu saya di rumah itu biasanya menggunakan bahan-bahan alami. Ibu saya sebisa mungkin menghindari penggunaan bahan-bahan kimia untuk perawatan kecantikan. Seperti misalnya: telur, kemiri, dan lidah buaya untuk rambut, madu untuk wajah dan bibir, santan kelapa, dan bahan lain-lainnya. Seingat saya, ibu saya memang senang merawat rambut. Perawatan seperti ini kan kesannya repot ya :D

Entah ini benar atau hanya perasaan saya, saat itu sudah jadi trend bahwa cantik itu ya putih. Teman-teman saya waktu SD yang dianggap cantik adalah yang tidak berjilbab, kemudian putih, dan biasanya mereka memang sudah menggunakan minimal facial wash untuk mencuci muka. Saya, yang berjilbab dan tidak pernah menganggap diri cantik, merasa merawat tubuh (khususnya wajah) bukanlah hal yang perlu saya lakukan. Toh memang sepertinya saya sudah aneh dari kecil, menarik perhatian lawan jenis dengan penampilan fisik bukanlah sesuatu yang menjadi keinginan saya. Lucunya, saat itu seperti banyaknya anak-anak “nerd”, saya asyik belajar dan berharap punya prestasi akademis untuk membuat orang tua saya bangga. Saya lebih senang membaca buku, dari dulu memang anehnya sudah seperti ini, dan menanti-nantikan pembagian rapor agar saya bisa dibelikan komik Detective Conan.

Saat SMA, saya masih juga cuek dengan perawatan kulit wajah. Ada teman yang sudah memakai krim dari klinik kecantikan, membawa-bawa sabun bayi untuk mencuci muka di hampir setiap waktu salat, dan lain-lainnya. Saya tetap cuek bebek super percaya diri dengan penampilan fisik saya. Waktu itu dengan bodohnya saya berpikir, “ah saya tetap manis kok, dan saya juga cukup pintar, dan saya pikir itu super lethal combination hahahahahahaha”. Padahal mah sebenarnya mungkin saya agak iri juga ya dengan ritual membersihkan wajah bersama-sama saat wudhu. Tapi karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan demi menuruti perintah orang tua, saya tidak berani macam-macam. Percayalah, saya dulu pernah sepakat dengan pendapat “air wudhu sudah cukup untuk menjaga kondisi wajah jadi lebih bersinar-sinar” :D

Semuanya berlanjut sampai saya tingkat kedua kuliah Sarjana. Seingat saya, hingga saya kuliah saya tidak menggunakan lipstick, lipgloss bahkan, kecuali ketika sedang berada di luar negeri yang membuat kulit jadi super kering. Seingat saya, barulah pada jenjang kuliah tersebut saya mulai tertarik menggunakan produk body care. Produk body care saya anggap lebih aman, karena ibu saya selalu khawatir kalau saya salah menggunakan produk untuk wajah, wajah saya akan dipenuhi oleh jerawat. Hal tersebut yang jadi pengalaman ibu saya. Saat remaja dulu, ia punya beberapa jerawat pubertas dan hormonal. Lalu, ia sangat panik mencoba-coba berbagai produk hingga akhirnya, menurut pengakuannya, wajahnya tidak lagi mulus. Pengalaman tersebut yang tidak ia inginkan terjadi juga pada diri saya. Oleh karena itu, untuk menyalurkan hasrat feminin yang akhirnya timbul dari diri saya, saya memilih produk body care dan hanya menggunakan facial wash untuk membersihkan wajah.

Jenjang sekolah hingga awal kuliah sarjana yang saya lalui jauh dari make-up. Saya mungkin juga terkesan dengan penampilan perempuan yang polos dan sederhana. Saya belajar percaya diri dengan tampil apa adanya. Barulah ketika mendekati lulus sarjana, saya yang sudah senang dengan perkembangan fashion mulai mencoba-coba heels dan pakaian kantor. Pakaian kantor dengan banyak renda dan layer sebenarnya favorit saya, tapi karena pakai jilbab yang menutup dada, banyak motif baju yang akan jadi terlihat biasa-biasa saja. Saat itu, saya sudah senang menggunakan heels, senang ke salon untuk perawatan tubuh dan rambut. Perawatan untuk wajah? Oh masih belum berani hehe.

Sampailah saya di pendidikan profesi psikolog. Di jenjang pendidikan inilah saya dituntut lebih mengenai penampilan. Ada selentingan yang bahkan menyatakan, “penampilan itu nomor satu, kompetensi urusan belakangan”. Bukan selentingan yang baik dan benar sebenarnya, namun pesan yang ingin disampaikan benar juga. Sebagai psikolog yang memberikan pelayanan jasa, kita perlu tampil meyakinkan. Terkadang, oh bukan sepertinya seringkali, penampilan yang baik mencerminkan kemampuan kita. Walaupun ramai juga pendapat yang percaya bahwa “perempuan cantik itu biasanya bodoh”. Pendapat yang mengerikan dan jahat juga ya sebenarnya.

Sampai-sampai perempuan pintar jadi takut terlihat cantik. Eh ada ga sih yang kayak begini? Atau seperti saya, karena merasa pintar jadilah tidak merasa penting untuk tampil cantik. Seakan-akan cantik dan pintar itu adalah dua hal yang tidak mungkin untuk disatukan. Di zaman sekarang ini, cantik dan pintar mendekati sempurna adalah salah dua yang selalu bisa kita upayakan. Cantik disini bukan hanya mengenai postur fisik anugerah Tuhan, namun penampilan yang bersih, rapi, dan wangi bisa juga membuat kita jadi menarik.

Jadi, apakah saya masih mempertahankan air wudhu untuk menjaga kebersihan wajah? Apakah ada di antara teman-teman yang juga masih belum terbuka matanya mengenai pentingnya perawatan fisik? Apakah ada teman-teman yang sebenarnya mau perawatan karena sadar usia pelan-pelan merayap ke angka 30 tapi masih bingung harus mulai dari mana? Kalau ada, share dong kisah kalian dan setelah ini kita akan belajar bersama-sama ;)


See you in my next blog post ya.
Love, 
bungaazzahra 

You Might Also Like

4 comments

  1. Sama banget Kak Zahraa, cuek sama penampilan padahal kulit sawo matang :"" Dan baru kerasa sekarang sih pas kuliah. Kalo di kampus, karena anak teknik jadi biasa aja gitu, pada kucel haha. Tapi pas keluar sama temen kampus lain baru deh nyadar : temen temen pada seger kok aku kuseem mulu yak hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya ih sama, aku juga gitu, semoga bisa sama-sama merawat kulit ya hehe ;) terima kasih ya sudah meninggalkan jejak di halaman blog ini..

      Delete
  2. wah terima kasih ka, bermanfaat sekali infonya :)

    ReplyDelete
  3. Mbaaa, ini aku banget. Hahahaha. Karena aku anak IT dari SMK, kuliah, kerja dan otomatis temennya mayoritas cowok, jadi gak mikirin banget masalah kulit dan gak pernah pake make up (sampe sekarang).
    Tapi akhirnya sadar kulit tambah kusem, kantong mata tambah parah, sedangkan tuntutan kerja mulai harus ketemu banyak orang. Sekarang lagi coba-coba skin care ini itu. Sempet ada yg bikin jerawatan dan kering. Ada yang gak ngefek apa2. Masih bingung harus pake apa.

    ReplyDelete

Haniva Az Zahra. Powered by Blogger.